Into the Edge of Robert Smith’s Suffer

Fadlan Muhamad Priatna
3 min readJun 13, 2023
The Cure/ Far Out Magazine.

The Cure. Mendengarkan The Cure adalah sebuah ikhtiar. Terkadang bisa keranjingan riang saat telinga disusupi Boys Don’t Cry, Just Like Heaven, dan In Between Days. Namun pada saat bersamaan bisa mengawangi hati yang murung tak karuan seperti pada Pictures of You, A Letter to Elise, Lovesong, dan Plainsong. Jangan berharap lebih pada The Cure yang akan memainkan satu entitas genre yang sama secara berulang. Itu bukan mereka. 13 album, lima EP, sepuluh album kompilasi, enam album live, dan tumpukan 46 single. Semua dikemas dalam wadah dengan embrionya masing-masing. Embrio dari segala isi pikiran Robert Smith yang disamari oleh rambut berantakan serta dandanan gothic-nya. Saking banyaknya kumpulan diskografi band asal West Sussex ini, ada satu album yang lumayan membuat mata melirik. Pornography, album keempat The Cure yang dirilis pada 4 Mei 1982, berisi delapan lagu. Setelah debut album Three Imaginary Boys yang post-punk banget, disusul Seventeen Seconds (1980) dan Faith (1981) yang menjadi cetak biru sound The Cure di tahun-tahun berikutnya. Kembali ke Pornography, mungkin tiga kata untuk mendeskripsikan album ini. Gelap, suram, dan depresif. Pornography adalah jeritan isi kepala Robert Smith yang sedang berada pada titik paling rendahnya pada 1981–1982. Pada periode tersebut, mentalnya dikuras habis setelah harus memainkan 200 panggungan dalam setahun.

I had two choices at the time, which were either completely giving in [committing suicide] or making a record of it and getting it out of me. I really thought that was it for the group. I had every intention of signing off. I wanted to make the ultimate ‘fuck off’ record, and then sign off [the band].” kata Robert Smith dalam buku Never Enough: The Story of The Cure.

Cover album Pornography/ Spotify

Sesi rekaman album Pornography adalah kisruh dan pertentangan Robert Smith, baik dengan rentetan depresinya bersama LSD dan miras. Juga hubungan dengan rekan sejawat band yang tidak akur. Sepanjang Januari — April 1982, di RAK Studios, London, menyaksikan episode-episode stresnya Robert Smith yang dibalut sebuah kegiatan bernama rekaman album. Mubazirnya pundi-pundi poundsterling untuk menemani depresinya, guna menghemat uang, The Cure tidur kelabakan di ruang kantor di studio rekaman tersebut.

Depresi Robert Smith membuat nuansa pada album ini menjadi suram, Seolah tidak ada pengharapan. Bait lirik di lagu pertama dalam lagu ini berjudul One Hundred Years saja berisi seperti ini “It doesn’t matter if we all die,”. Ketukan drum yang melayang dan suara gitar repetitif yang membuat tatapan kosong, lagu pertama ini akan membuat orang yang hanya mendengar lagu riang seperti Friday i’m in Love dan Boys Don’t Cry, bingung keheranan. Atau malah tidak akan suka. Cobalah untuk mendengarkan Cold dan The Hanging Garden, rasakan sensasinya. Terkesan akan mirip seperti sensasi saat menyaksikan iklan rokok di televisi pada tengah malam. Kosong, hampa, bayangan berada di ambang batas jurang dan ingin lompat ke bawahnya terbesit. “Everything as cold as life, can no one save you? Everything as cold as silence and you never say a word”, salah satu penggalan lirik lagu Cold (dan keseluruhan album ini) berhasil disalurkan oleh Robert Smith sebagai elemen penghancuran diri, setidaknya menurut dirinya. Meski akan terasa berat dan tidak familiar untuk didengarkan di awal, akan tetapi album ini adalah penting bagi The Cure dan menjadi salah satu album proto-goth.

Penasbihan album ini sebagai perpisahan seperti yang diungkapkan Robert Smith nampaknya terjadi. Setelah tur album ini berakhir, bassist Simon Gallup angkat kaki dari The Cure. Sementara Robert Smith mengisi kegabutannya sebagai gitaris di Siouxsie and the Banshees pada November 1982.

--

--